Netizen Journalism atau jurnalisme warganet lahir berkat media sosial. Berikut ini ulasan ringkas tentang pengertian jurnalisme warganet.
Semua orang kini bisa menjadi reporter layaknya wartawan.
Media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram membuat semua orang bisa mempublikasikan informasi kejadian layaknya berita yang dibuat wartawan.
Sebelumnya kita mengenal istilah jurnalisme warga (citizen journalism) –merujuk pada orang biasa (bukan wartawan) yang melakukan kegiatan jurnalistik dengan membuat dan menyebarkan berita.
Menurut Encyclopaedia Britannica, jurnalisme warga adalah kegiatan atau praktik jurnalisme yang dilakukan oleh orang-orang yang bukan jurnalis profesional.
Kehadiran media sosial dan blog (website pribadi) di era internet saat ini memunculkan konsep dan istilah baru: jurnalisme warga internet atau jurnalisme warganet (internet citizen journalism/netizen journalism).
Jurnalisme warganet bahkan sering lebih cepat ketimbang jurnalis profesional dalam pemberitaan sebuah peristiwa. Media warganet tak lain adalah media sosial.
Menurut profesor jurnalisme di Universitas Salisbury, Jennifer Brannock Cox, ketika kita memposting di media sosial, kita menjadi seorang jurnalis, apakah kita berniat atau tidak.
“Platform media sosial adalah alat penyebaran berita utama yang harus dipahami oleh semua reporter,” katanya dikutip The Wellesley News.
Namun, Cox juga menegaskan bahwa informasi online tidak dapat diandalkan karena, “ketika siapa pun dapat memposting apa saja kapan saja tanpa menahan diri, pelestarian informasi palsu dan subjektif tidak bisa dihindari.”
Meskipun jurnalisme mengabaikan informasi yang salah dan subjektif, masih banyak informasi benar yang dikumpulkan orang dari media sosial, sehingga jurnalisme terbuka untuk umum.
Praktik jurnalistik oleh masyarakat umum atau warganet melalui media sosial tidak seperti yang dilakukan wartawan dalam pengertian sebenarnya –jurnalis sebuah media massa atau media pers.
Jurnalisme warganet mengabaikan prinsip jurnalisme seperti disiplin verifikasi yang membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, hoax, dan manipulasi guna mendapatkan informasi yang akurat.
Media sosial tidak saja memungkinkan semua orang bisa jadi wartawan, tapi juga dapat membuat humas tidak lagi memerlukan wartawan.
Humas saat ini bisa membuat dan mempublikasikan sendiri press release di media sosial dan website lembaga, tidak lagi bergantung pada wartawan atau hubungan media (media relations).
Berkat media sosial pula, public figure seperti artis dan pejabat kini bisa menjadi wartawan untuk publikasi pemikiran, gagasan, dan kegiatannya.
Demikianlah “berkah” media sosia. Semua orang bisa menjadi wartawan dan semua orang punya media sendiri untuk publikasi pemikiran, gagasan, dan kegiatan atau berbagi informasi dan pengalaan kepada publik.
Pengertian Jurnalisme Warganet
Pengertian jurnalisme warganet pada dasarnya sama dengan definisi jurnalism warga, yakni individu pribadi yang melaporkan informasi.
Menurut About.com, informasi itu bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari editorial, podcast, hingga laporan tentang rapat dewan kota di blog. Informasi ini dapat mencakup format teks, gambar, audio, dan video. Tapi pada dasarnya ini semua tentang mengomunikasikan informasi.
Berikut ini ulasan singkat tentang pengertian jurnalisme warganet dalam sebuat hasil studi yang dipublikaskan Sagepub.
Jurnalisme warganet adalah praktik pelaporan berita atau informasi seperti berita berbasis Internet yang dilakukan pengguna internet aktif atau warga internet (warganet).
Warga negara biasa, di era masyarakat platform global (van Dijck, Poell, & De, 2018), berhak, bahkan didorong, untuk terlibat dalam pembentukan agenda publik lebih dari sebelumnya.
Di ranah global, jauh sebelum munculnya platform video pendek, pengguna internet telah menggunakan sifat dunia maya yang ada di mana-mana untuk memperluas hak peran baru mereka sebagai jurnalis warga sejak akhir 1990-an (Bruns & Highfield, 2012).
Konsep umum dari “konten buatan pengguna” (user generated content) “didefinisikan sebagai jenis konten apa pun yang telah dibuat dan ditampilkan di sana oleh kontributor atau penggemar yang tidak dibayar” (Gallegos, 2016), menunjukkan transformasi netizen biasa dari pengguna menjadi produsen di era Web 2.0.
Industri berita tradisional, dalam keadaan seperti itu, telah membuka gerbangnya untuk konten buatan pengguna seperti “komentar, foto/video, blog pembaca, dan bahkan artikel berita yang disusun oleh pembaca” (Lewis, Kaufhold & Lasorsa, 2010).
Netizen, sebagai pengguna umum platform media baru, melengkapi, jika tidak menggantikan, peran jurnalis tradisional.
Oleh karena itu, praktik pelaporan berita berbasis Internet (atau informasi seperti berita) disebut “Jurnalisme Netizen” (Hauben & Hauben, 1997).
Kegiatan jurnalistik seperti itu, serupa dengan konsep jurnalisme warga yang lebih luas, dicirikan oleh keterjangkauan praktis dan teknologi tertentu: mereka memanfaatkan kontribusi sukarela dari jaringan yang luas dan terdistribusi dari peserta yang dipilih sendiri daripada pekerjaan berbayar dari tim inti staf profesional, dan mereka memanfaatkan teknologi Internet untuk mengoordinasikan proses dan membagikan hasilnya. (Bruns & Highfield, 2012)
Sementara “kontribusi sukarela” semacam itu secara bertahap mengubah metode produksi industri berita tradisional, teknologi seluler yang sedang berkembang membuka lahan baru bagi konten yang dibuat pengguna untuk mengakar dan tumbuh secara eksponensial.
Pada 2016, 72% warga Amerika memperoleh berita dan informasi dari aplikasi seluler mereka (Chang & Wang, 2017), dan ponsel adalah satu-satunya sumber informasi dan berita untuk 36% generasi muda (18- 34 tahun) di Amerika (Liu, 2017).
Media sosial dan informasi yang berfokus pada seluler seperti BuzzFeed, Twitter, Snapchat, dan Instagram menempati pasar dengan desain dan kemampuan antarmuka yang terus berkembang.
Telah terjadi konvergensi nyata antara jurnalisme profesional dan informasi yang dihasilkan pengguna di platform ini.
Konvergensi semacam itu terutama disebabkan oleh mekanisme produksi media sosial seluler yang terdesentralisasi.
Alih-alih berpegang pada prinsip jurnalisme profesional yang sudah lama ada, platform media sosial, didorong oleh kepentingan komersial, menggunakan algoritme untuk memilih konten paling populer dan menempatkannya di halaman atas antarmuka pengguna yang relevan.
Kelemahan utama jurnalisme warganet adalah menyangkut etika. Warganet tidak terikat kode etik jurnalistik seperti wartawan profesional.
Mark S. Zaid, seorang pengacara Washington, D.C. yang telah menangani beberapa kasus pencemaran nama baik mengatakan,
“Internet telah mendorong orang untuk percaya bahwa mereka dapat menulis apa pun yang mereka inginkan tentang siapa pun kapan saja tanpa bukti atau upaya untuk menyelidiki dan tidak peduli seberapa fitnahnya pernyataan tersebut. Tingkat tanggung jawab sosial telah menurun secara signifikan.”