SEJAK menjelang Pemilu Presiden 2014, media massa, pers, atau jurnalistik Indonesia memasuki era kegelapan.
Pasalnya, alih-alih mengambil posisi independen yang “tidak memihak”, media di Indonesia malah terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu Capres 1 dan Capres 2.
Keberpihakan media ini menodai nilai luhur jurnalisme yang imparsial atau tidak memihak. Namun, keperpihakan yang mendorong media dan wartawannya menjadi “partisan” tak bisa dihindari karena pemilik medianya politisi.
Menjelang Pilpres 2024, dipastikan semua media jaringan Media Grup –Metro TV dkk.– akan berpihak pada kubu koalisi NasDem yang dipimpin Surya Paloh yang juga bos Media Grup.
Demikian juga media jaringan MNC Grup –RCTI, Sindonews, dkk.– akan berpihak pada Perindo dan kubu koalisinya.
Media-media lain atau media independen yang berada di luar kedua grup tersebut, bisa saja menjadi partisan juga jika “dikucuri dana besar” alias “disuap” agar membela salah satu kubu. Mereka pun secara sadar akan mengabaikan standar jurnalistik dan fungsi media yang sebenarnya.
Jurnalisme Partisan, Media Propaganda
Pers pun terbelenggu. Media di Indonesia pun memasuki era kegelapan. Kode etik sering dilabrak. Fakta diabaikan. Opini wartawan/editor membiaskan fakta. Opini dan fakta berbaur.
Misi hakiki jurnalisme, yakni “To Inform” (menginformasikan), berubah menjadi semata-mata “To Influence” (untuk memengaruhi).
Wartawan di media-media mainstream kini mengorbankan idealisme jurnalistik. Media-media baru, terutama media berita online, pun bermunculan.
Alih-alih menjadi media jurnalisme profesional, banyak (atau kebanyakan?) media menjadi media propaganda yang mengabaikan fakta, merekayasa data, dan mengedepakan opini ketimbang fakta.
Dalam jurnalistik, fakta itu suci. Fact is sacre. Kebenaran (truth) dalam konteks jurnalistik adalah fakta. Nilai berita (news values) adalah pedoman pemberitaan.
Namun, seringkali sebuah peristiwa bernilai berita diabaikan, demi kepentingan dan “pesan sponsor”.
Sebaliknya, fakta yang tak bernilai berita, diekspos sebesar-besarnya dan sesering mungkin, demi kepentingan dan pesan sponsor untuk “pencitraan”.
Media-media mainstream saat ini tampak sudah “dikendalikan” penguasa. Ini sisi gelap jurnalisme (dark side of journalism).
Akibatnya, media-media tersebut menjadi corong penguasa dan melaksanakan “jurnalisme pemerintah” (government journalism) yang memihak pada penguasa.
Padahal, pers adalah “musuh alami” pemerintah. Pers/media adalah kekuatan keempat (fourt estate) yang berperan sebagai “social control” untuk mengeritisi kebijakan pemerintah dan tidak memberi dukungan membabi-buta kepada rezim penguasa.
“Pers dan pemerintah adalah musuh alami dengan funsgi berbeda dan harus saling mengormati peran masing-masing,” tulis editor buku Pers Tak Terbelenggu (USIS Jakarta, 1997).
“Hak rakyat untuk berbicara lewat suatu pers yang bebas adalah tonggak dalam masyarakat demokratis.”
Media di Indonesia Masuki Era Kegelapan. Kepercayaan publik terhadap media-media mainstream mencapai titik terendah.
Publik sudah mulai cerdas menilai media mana yang menjadi corong pemerintah untuk pencitraan dan media yang masih menjalankan “misi suci” jurnalisme: to inform, berpegang teguh pada kode etik jurnalistik, menjunjung tinggi fakta sebagai kebenaran, dan “loyalitas pertama pada warga” (bukan pada penguasa).
Jurnalisme Clickbait, Umpan Klik
Bukan saja karena politik, era Kegelapan jurnalisme juga terjadi karena alasan ekonomi, tepatnya “AdSense”. Demi trafik dan pageviews, banyak (atau kebanyakan?) media online atau situs berita saat ini menganut jurnalisme umpan klik (clickbait).
Judul-judul berita banyak yang tidak lagi mengacu pada jurnalisme yang baik, tapi lebih bernada status update media sosial dan menyembunyikan substansi berita –karena memang tujuannya link berita diklik.
Tentu, tidak semua media partisan juga tidak semua situs berita menganut jurnalisme umpan klik. Sayangnya, media partisan dan penganut clickbait itu dominan di Google Search. Wasalam.